ALIRAN - ALIRAN DALAM TASAWUF

BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Tasawuf sebagai sebagai salah satu tradisi Islam yang secara esensial telah ada pada masa Nabi Muhammad SAW, yang pada perkembangan berikutnya memformulasikan ajaran-ajarannya dalam sebuah teori dan ilmu keislaman, yaitu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana manusia mengadakan hubungan dan komunikasi dengan Tuhan.
Tasawuf secara epistemologik dalam memperoleh kebenaran dan ilmu memakai intuisi. Apabila intuisi tersebut diartikan sebagai sumber kebenaran/ilmu, terdiri dari pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis berdasarkan fakta yang timbuldari sumber yang tidak dikenal atau diselidiki, maka dalam tasawur perolehan itu tidak serta merta, tetapi melalui proses yang panjang dengan apa yang disebut mujahadah dan riyadhah serta tafakur dan tadabbur.[1]
Dalam perkembangannya ilmu tasawuf telah melahirkan beberapa aliran-aliran, aliran-aliran itu muncul dikarenakan perbedaan antara ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya.
B.       RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan membahas tentang:
1.      Sejarah munculnya aliran – aliran dalam tasawuf.

2.      Tokoh – tokoh aliran Tasawuf dan peranannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Aliran – aliran Tasawuf.
1.      Sejarah munculnya aliran – aliran Tasawuf
Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih. Dinamakan shufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan bahwa kata tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh pun miskin namun berhati mulia dan memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi. Teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata “shuf” yaitu kain yang dibuat dari bulu atau “wool”, dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Dari berbagai teori di atas, tampak bisa dipahami bahwa sufi dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada di serambi masjid dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-benda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada aspek bathiniyah.
Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan.
Dalam ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia misalnya harus menempuh beberapa maqam (stasiun), yaitu disiplin kerohanian yang ditujukan oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.
Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi misalnya, mengemukakan beberapa mawamat, yaitu : taubat, zuhud, sabar, al-faqr, al-tawadlu’, taqwa, tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, al-ma’rifat dan kerelaan hati.
Pada abad III dan IV hijriah, terdapat dua aliran. Pertama aliran tasawuf sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al Qur’an dan hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah)mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf semi falsafi, dimana pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).
Pada abad ke V terjadi kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, yang kemudian dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan ini di karenakan menangnya teologi Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang dipelopori oleh abu hasan al asy ‘ari, yang mengadakan kritik pedas terhadap teori abu yazid al bushtamy dan al hallaj, sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat nya yang dianggap bertentangan dengan kaidah dan akidah islam.[2]
2.      Aliran – aliran Tasawuf
a.        Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli saja (al-Qur’an dan Sunnah) yang kebanyakan diterima oleh ulama ahli sunnah wal jama’ah. Tasawuf sunni ialah Aliran taaawuf yang berusaha memadukan aspek hakekat dan syari’at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat. Dalam kehidupan sehari-hari para pengamal Tasawuf ini berusaha untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kekhusua’an ibadahnya.
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang melanda para ulama’ fiqh dan tasawuf lebih-lebih pada abad kelima hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib.
Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran tasawuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali. Tasawuf sunni banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara–Negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran – ajarannya tidak terlalu rumit.
Ciri-ciri Tasawuf Sunni :
o   Melandaskan diri padaAl-quran dan As-Sunnah.
o   Tidak menggunakan terminologi – terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan – ungkapan Syathahat.
o   Lebih bersifat mengajarkan dualism dalam hunganan antara Tuhan dan manusia.
o   Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at.
o   Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan – latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
b.        Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu filsafat yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat, disebut saja tasawuf falsafi, karena disatu pihak memakai term-term filsafat, namun dipihak lain pendekatan diri terhadap tuhannya memakai metode dzauq/intuisi/wujdan/rasa.
Dalam perkembangannya, terutama setelah memasuki abad ke 3 sampai ke 4 hijriyah atau abad ke 8 sampai ke 9 masehi. Tasawuf berubah corak dan berbeda sekali dari keadaan awal masa kelahirannya yang semata-mata sebagai bagian dari ibadah dengan tampilan empirik sikap tekun, beribadah (abid) dan menjauhi sikap rakus terhadap dunia atau zahid. Pada abad tersebut tasawuf sudah menjurus kepada kecenderungan ekstatik atau kefanaan dan persatuan hamba dengan tuhan. Sehingga muncul ide tentang ittihad, hulul, wahdah al wujuh, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa sahabat dan tabiin (salaf).[3]
Ada juga yang mengatakan tasawuf falsafi adalah rasio/ akal pikiran, yakni menggunakan bahan-bahan atau kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang tuhan, manusia, dan hubungan manusia dengan tuhan. Tasawuf falsafi merupakan tindak lanjut dari pemikiran mutakallimin yang membaur dengan filsafat metafisika. Pada tingkat awal ia merupakan upaya menjembatani aqidah dengan filsafat, maka kaum sufi berusaha membuat formulasi baru yang mempertemukan pemikiran dengan perenungan terutama pada konsep etika, estetika, dan kesatuan wujud. Konsep etika disosialisasikan dengan rasa ingin tahu terhadap tuhan, sehingga perlu menghindar dari keduniaan.
Ciri – ciri Tasawuf falsafi :
o  Tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-falsafi dan perasaan (dzauq).
o  Seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah, yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
o  Tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bias dicapai dengan fana.
o  Para penganut tasawuf falsafi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai symbol atau terminologi. 
B.       Tokoh – tokoh aliran Tasawuf dan peranannya
  1. Tokoh Tasawuf Sunni
a.    Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau lahir di Thus pada tahun 450 H/1058 M. beliau kemudian dikenal dengan julukan Hujjatul Islam berdasarkan keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran Islam dari serangan baik dari luar ataupun dari Islam sendiri. Pilihan Al Ghazali jatuh kepada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin ahlu sunnah wal jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi pada filosof islam, sekte ismailiyah, aliran syi’ah ikhwan shafa dan lain-lainnya.
Al Ghazali dalam tasawufnya, membagi daya ruh yang ada dalam diri manusia menjadi empat, yaitu;
1.      Daya intelektualitas,
2.      Daya emosi,
3.      Daya nafsu
4.      Daya penyeimbang.keempat daya tersebut merupakan pilar-pilar akhlak.
Keempatnya dapat menjadi baik, dan juga dapat menjadi tidak baik.[4]
Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahiyat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan kepada amalan lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan, tersingkapnya tirai, dan tersaksikan allah.dan ini membawa dampak negatif pada orang awam,lari meninggalkan pekerjaannya, lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip dengannya. Kedua, keganjilan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari pikiran yang kacau, hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian Al Ghazali menolak sufi semi falsafi, meskipun memaafkan Al Hallaj dan Yazid Al Busthami. Ungkapan-ungkapan yang demikian itulah menjadikan orang –orang nasrani keliru dalam memandang tuhannya seakan-akan dia berada pada diri al masih.[5]
b.    Al Qusyairi
Al Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V hijriah. Kedudukannya amat penting mengingat karyanya banyak dipakai sebagai rujukan para sufi, seperti al risalatul qusyairiyah, isinya lengkap baik teoritis maupun praktis. Dia terkenal pembela teologi ahlu sunnah wal jamaah yang mampu mengompromikan syariah dan hakikah. Dia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya, Al Qur’an dan al Hadits.
2.      Tokoh Tasawuf Falsafi
a.    Abu Yazid al Bustami
Abu Yazid Al Busthami mempunyai teori al ittihad, yaitu suatu tingkatan tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata:’’Hai Aku”. Dalam al-ittihad identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan dikarenakan fana’ nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan tuhan.[6]
Dari mulut beliau kerap kali keluar kata-kata yang bersisi kepercayaan bahwasannya hamba dan tuhan sewaktu-waktu berpadu menjadi satu. Inilah madzhab yang dinamai hulul atau madzhab berpadu.[7]
b.    Husein bin Mansur Al Hallaj
Nama lengkapnya adalah al-Mughisy al-Husein bin Mansur al-Hallaj, lahir di negeri Baida bagian selatan Persi pada tahun 244 H/875 M. Beliau wafat karena dijatuhi hukuman mati oleh pihak pengadilan. Mengenai sebab-sebabnya sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Namun, Harun nasution menyatakan bahwa beliau dihukum karena diduga memiliki memiliki hubungan dengan gerakan Qaramithah, yaitu sekte syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibnu Qarmat. Sekte ini berpaham komunis dan senantiasa melakukan terror, termasuk berusaha menyerang Makkah.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Aliran – aliran tasawuf disini mempunyai tujuan yang sama dan sama – sama berpengaruh. Namun alur jalannya yang berbeda. Tasawuf sunni Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli saja (al-Qur’an dan Sunnah) yang kebanyakan diterima oleh ulama ahli sunnah wal jama’ah. Sedangkan Tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
B.       Saran.
Kami bangga sekaligus kagum atas banyaknya perkembangan islam di masa sahabat sampai dengan sekarang. Memang semakin banyak perbedaan di antara kelompok untuk menuju sang Rob. Tapi semua itu bukanlah hal yang patut di besar – besarkan. Karena kita umat islam tujuannya hanya satu yaitu Illahi.

DAFTAR PUSTAKA
1)      Amin syukur dan Masyharudin, intelektualisme tasawuf, Pustaka Pelajar, Semarang, 2002.
2)      Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1969)
3)      Masyharudin, pembrontakan tasawuf  kritik ibn taimiyah atas rancang bangun tasawuf, JP Books, surabaya, 2007
4)      Jalaludin rahmat,dkk, kuliah-kuliah tasawuf, Pustaka Hidayah, Bandung,2000,
5)      Opcit, hlm 85
6)      Hamka, tasauf perkembangan dan pemurniannya,PT. Pustaka Panjimas, jakarta, 1993




[1]Amin syukur dan Masyharudin, intelektualisme tasawuf, Pustaka Pelajar, Semarang, 2002.hlm 5
[2]Ibid..hlm 25
[3]Masyharudin, pembrontakan tasawuf  kritik ibn taimiyah atas rancang bangun tasawuf, JP Books, surabaya, 2007
[4]Jalaludin rahmat,dkk, kuliah-kuliah tasawuf, Pustaka Hidayah, Bandung,2000,hlm 48
[5]. Amin syukur dan Masyharudin, intelektualisme tasawuf, Pustaka Pelajar, Semarang, 2002. Hlm. 26-27
[6]Opcit,hlm 85
[7]Hamka, tasauf perkembangan dan pemurniannya,PT. Pustaka Panjimas, jakarta, 1993.hlm 95

No comments:

Post a Comment