PEMBAHASAN
I. Pengertian Istihsan
a) Menurut
bahasa
Istihsan artinya menganggap baik sesuatu,
memperhitungkan sesuatu dengan
baik, mengikuti sesuatu yang lebih
baik.
b) Menurut
istilah ulama' ushul
fiqih
Istihsan adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias
yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum
umum kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenagkan perpindahan itu atau meninggalkan
hukum yang jelas ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian
itu juga karena ada
dalil syara' yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
c) Menurut Imam AlBazdawi ( seorang ahli ushul
madzab hanafi )
Istihsan yaitu bepaling dari kehendak
kias kepada kias
yang
lebih kuat atau pengkhususan kias berdasarkan dalil yang
lebih kuat .
d) Menurut Al Karakhi
Istihsan yaitu berpindah dari sebuah hukum
yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya , kepada
hukum yang berlawanan dengan dia lantaran ada sesuatu sebab yang dipandang
lebih kuat.
e) Menurut AS Sarakhsi ( 483 H / 1090 M )
الأ ستحسان
هو ترك القياس والعمل بما هوأقوى منه لدليل يقتضى ذلك وفقا لمصلحة النّاس
' Istihsan yaitu meninggalkan
qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang menghendakinya
, serta l ebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia
' .
Imam Abu Hanifah
menyatakan :
الأ ستحسان تسعة
أعشارالعلم
" Istihsan itu sembilan persepuluh ilmu".
Imam Malik
sebagaimana dikutib Imam Assyathibi menulis tentang istihsan yaitu :
الأخذ بمصلحة
جزئيّة فى مقابلة دليل كلّىّ
" Memberlakukan kemaslahatan juz'i ketika
b erhadapan dengan kaidah umum".
II. Macam – macam Istihsan
a) Menurut Syara' ada
2 macam yakni :
1. Mengunggulkan
qiyas yang tersembunyi
atas qiyas yang
nyata dengan suatu
dalil .
2. Mengecualikan sebagian hukum umum
dengan suatu dalil.
Contoh Istihsan bentuk pertama
:
1. Fuqoha' Hanafiyah menyebutkan bahwa :
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanahnya , maka masuk pula secara otomatis hak pengairan , hak air
minum , hak lewat
ke dalam wakaf tanpa
harus menyebutkannya bedasarkan istihsan . Dan sedangkan berdasarkan qiyas adalah semua hak –hak yang
tersebut diatas (kecuali tanah ) tidak termasuk
kecuali terdapat nash yang menyebutkan
sebagaimana jual beli.
Adapun
istihsannya
adalah bahwa yang
menjadi tujuan waqaf
adalah pemanfaatan tanah kepada mereka. Sehingga walaupun tidak tertuang
secara jelas apa
yang ada di dalamnya dan di manfaatkan untuk apa termasuk waqaf.
2.
Fuqoha' Hanafiyah :
Jika penjual
dan pembeli bersengketa
mengenai jumlah harga sebelum serah terima barang yang dijual,
kemudian penjual mengaku bahwa
harganya adalah seratus dinar, dan pembeli mengakuinya bahwa
harganya sembilan puluh
dinar , maka mereka berdua
bersumpah berdasarkan istihsan.
Kalau di kaji
secara qiyas maka
si penjual tidak
bersumpah, karena penjual
menuntut tambahan yaitu 10 dinar dan sadangkan pembeli mengingkarinya.
Contoh lagi :
- Fuqoha' Hanafiyah menetapkan bahwa sisa makanan
atau minuman burung buas seperti burung garuda ,
burung gagak , burung elang , burung rajawali
dan sejenisnya hukumnya adalah suci menurut istihsan , akan tetapi menurut
qiyas hukumnya najis.
( makanan
/ atau minuman )
itu adalah
sisa dari binatang yang haram
dagingnya seperti halnya binatang buas (
berkaki 4 ) seperti macan tutul,
harimau, dan serigala, maka
hukum makanan / minuman sisa binatang itu mengikuti hukum dagingnya.
Burung yang buas meskipun
dagingnya
haram
tetapi air liur yang keluar
dari dagingnya tidak bercampur
dengan sisa tersebut
dikarenakan burung
itu minum dengan menggunakan paruhnya , sedangkan paruh itu
termasuk tulang yang suci . Dan
untuk binatang buas ( berkaki empat ) itu minumnya
dengan
menggunakan
lidahnya yang bercampur dengan air
liur , sehingga sisa makanan
/ minuman tersebut menjadi najis .
Dalam contoh diatas terjadi kontradiksi dua qiyas
dalam
satu kejadian yakni :
-
Pertama : Nyata yang
langsung dapat di
paham
-
Kedua : Samar yang sulit di paham
Namun
Mujtahid memiliki dalil
yang menjadikan dia
memenangkan qiyas yang
sama, lalu berpindah dari qiyas
yang nyata ke
qiyas yang samar . Inilah disebut Istihsan .
Contoh
Istihsan bentuk kedua :
- Syari' melarang jual beli
atau akad pada
barang yang tidak
ada di tempat akad, tetapi secara istihsan di perbolehkan
pesan memesan
, secara menyewa , muzaro'ah
(
bagi hasil tanah dengan jumlah tertentu antara pemilik tanah dan penggarap
)
dan meminta
pekerjaan . Semua itu adalah
akad , tetapi
barang yang di
akadi tidak ada pada waktu akad. Dan
alasan istihsan adalah kebutuhan dan saling
kenal di antara
manusia .
Fuqoha'
menetapkan :
Seorang pelindung
harus
menanggung atas kematian yang di
percayakan kepadanya secara
tidak
tahu ,
karena ketidaktahuan adalah
bentuk kecerobohan
. Akan tetapi
di kecualikan secara istihsan
kematian seorang bapak ,
kakek , atau orang yang berwasiat. Secara misterius alasannya
seoarang bapak , kakek atau orang
yang berwasiat itu memiliki
kewajiban memberi nafkah
anak kecil dan membelanjakan kebutuhannya .
Maka
barangkali apa yang
tidak diketahui itu
telah di penuhi menurut
caranya .
Fuqoha'
menetapkan bahwa :
Seorang pelindung tidak
wajib menanggung kecuali sebab
ceroboh dan melewati batas dalam menjaga . Istihsan mengecualikan
orang yang
menyewa dengan bersekutu , maka
ia wajib menanggung , kecuali jika kerusakan barang yang di sewa itu
sebab kekuatan yang
luar biasa.
Para Ulama'
juga menetapkan bahwa
:
Orang
yang terhalang membelanjakan
sesuatu karena idiot
tidak sah awal
kebaikannya . Istihsan mengecualikan
pewaqafan atas dirinya
semasa hidupnya dengan
alasan bahwa mewaqafkan
harta untuk dirinya
adalah menyelamatkan
tanahnya dari kesia – siaan . Hal ini
telah di
sepakati dan itulah tujuan
menghalangi penbelanjaan orang
yang idiot .
Ulama' Hanafiyah membagi
Istihsan dengan 6
macam :
الأستحسان بالنّصّ 1.
الأستحسان بالأجماع
2.
الأستحسان بالقياس الخفيّ 3.
الأستحسان بالمصل
4.
الأستحسان بالعرف
5.
الأستحسان بالضرورة 6.
( istihsan berdasarkan
ayat atau hadist )
الأستحسان بالنّص 1. Pengertian
Yakni
ada ayat atau
hadist tentang hukum
suatu kasus yang berbeda
dengan ketentuan kaidah umum .
Contoh dalam masalah
wasiat
:
Menurut ketentuan umum atau
qiyas wasiat itu tidak boleh , karena
sifat pemindahan hak milik kepada
orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak lagi, setelah ia wafat .
Akan tetapi kaidah ini dikecualikan
melalui firman Alloh SWT.
yang bermakna "
……setelah dipenuhi wasiat yang
di buatnya atau dan setelah
dibayar hutangnya "
(QS. Annisa' 4 : 11 ).
Berdasarkan
ayat tersebut kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiat .
الأستحسان بالأجماع 2. Pengertian
Yaitu meninggalkan qiyas pada
suatu masalah karena
telah terjadi ijma'
yang menyalahi qiyas itu
atau istihsan yang
di dasarkan ijma' .
Contoh dalam kasus pemandian umum :
Menurut kaidah
umum jasa pemandian
umum itu harus
jelas yaitu berapa
lama seseorang mandi dan
berapa jumlah air
yang ia p akai . Akan
tetapi apabila hal
ini dilakukan maka
akan menyulitkan orang banyak .
Oleh sebab itu ulama'
sepakat bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian sekalipun tanpa
menentukan jumlah air
dan lama waktu
yang dipakai .
الأستحسان بالقياس الحفيّ 3. Pengertian
Yaitu suatu
istihsan jika ada
pada suatu masalah
dua sifat yang
menghendaki dua hukum
yang berlawanan , yang pertama
jelas yang lain
samar yang menghendaki
kita hubungkan
dengan pokok lain , maka mengambil yang samar itu
disebabkan oleh sebab yang lebih kuat.
Contohnya sudah ada diatas yang
sudah di jelaskan .
الأستحسان بالمصلحة
4. Pengertian
Yaitu suatu istihsan yang berdasarkan
kemaslahatan .
Contoh : Ketentuan umum menetapkan bahwa buruh
suatu pabrik tidak
bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang di
produksinya , kecuali ada kelalaian atau kesengajaan mereka sebagai
buruh . Akan
tetapi demi kemaslahatan
dalam memelihara harta orang lain
dari sikap tidak
bertanggung jawab para buruh
dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik . maka ulama'
Hanafiyah menggunakan istihsan dengan menyatakan buruh harus bertanggung jawab atas setiap kerusakan setiap produk pabrik baik sengaja
atau tidak .
Ulama' Maliki
mencontohkan dengan memperbolehkan dokter
melihat aurat wanita
dalam berobat.
الأستحسان بالعرف
5. Pengertian
Yaitu istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum. Contohnya seperti istihsan bil ijma'.
الأستحسان بالضرورة
6. Pengertian
Istihsan yang berdasarkan keadaan . Dhorurot disini diartikan bahwa ada keadaan dhorurot yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan
kaidah umum atau
qiyas .
Contoh : Kasus
sumur yang kemasukan
najis.
Menurut kaidah
umum sumur itu
sulit di bersihkan
dengan mengeluarkan air sumur tersebut karena sumur
yang sumbernya dari
mata air sulit
untuk di keringkan .
Ulama' Hanafiyah
mengatakan bahwa dalam
keadaan seperti ini
untuk menghilangkan najis
cukup dengan memasukkan
beberapa gallon ai ke
dalam sumur di karenakan
ini keadaaan dhorurot dan
agar orang tidak
kesulitan mendapatkan air untuk
beribadah dan kebutuhan lainnya .
III. Kekuatan
Istihsan sebagai Hujjah
Pada hakikatnya ISTIHSAN bukanlah sumber hukum
yang berdiri sendiri , karena hukum dari bentuk Istihsan pertama
adalah qiyas yang
tersembunyi
yang di unggulkan
dari pada qiyas yang nyata .
Sebab hal – hal tertentu yang oleh mujtahid di anggap lebih unggul , sedangkan Istihsan
kedua adalah kemaslahatan yang menuntut
adanya perkecualian bagian tertentu
dari hukum umum .
Ulama' bebeda
pendapat dalam menetapkan ISTIHSAN sebagai satu metode ISTINBAT hukum .
Ulama' Hanafiyah , Malikiyah
dan sebagian ulama' Hambaliyah menyatakan bahwa istihsan
merupakan dalil yang kuat dengan
alasan :
1. Berdasarkan
firman Alloh SWT. yang bermakna :
" Alloh SWT menghendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu " . (QS. Al baqoroh 21 : 185 )
2. Berdasarkan
hadist
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
" Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam , maka ia juga dihadapan
Alloh adalah baik " .
( HR. Ahmad bin Hambal )
3. Berdasarkan hasil penelitian
dari berbagai ayat dan hadist terdapat
berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan
hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas , adakalanya membawa kesulitan bagi manusia . Sedangkan syari'at islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai
kemaslahatan manusia .
Jadi mayoritas
ulama' Hanafiyah beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan
adalah mengambil dalil dengan qiyas
yang samar yang
mengalahkan qiyas yang
nyata atau memenangkan qiyas atas qiyas yang
lain yang menentangnya , karena
kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum .
Seluruh Ulama' Madzab menerima Istihsan yang berdasarkan 'Urf dan
maslahah untuk di jadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hokum syara' .
Sedangkan Ulama' Syatiiyah
, Syiah dan Mu'tazilah tidak menerima Istihsan sebagai penetapan hukum syara' dengan alasan :
1. Hukum syara' – syara' itu di tetapkan bedasarkan nash dan
pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas , sedangkan istihsan bukan nash
dan bukan qiyas
.
2. Sejumlah ayat telah menuntun umat islam untuk
taat dan patuh kepada Alloh SWT. dan rosul- Nya dengan melarang secara tegas
mengikuti hawa nafsu .
3. Istihsan adalah upaya
penetapan hokum dengan akal
dan hawa nafsu .
4. Rosululloh SAW. tidak
pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan .
5. Rosululloh SAW telah membantah fatwa sebagian sohabat
yang berada di daerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan
istihsan mereka .
6. Istihsan
tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat di pertanggung
jawabkan .
Imam Syafi'I
lebih tegas mengatakan :
من استحسن فقد شرع
" Barang siapa
menetapkan hokum dengan istihsan berarti ia membuat syari'at sendiri ".
Imam
As Syathibi dalam kitab Al Maubiqot menjelaskan :
orang yang melakukan istihsan tidak menggantungkan pada
daya rasa dan
keinginannya , namun harus
menggantungkan pada apa
yang di ketahuinya tentang tujuan syara' secara global dalam hikmah
sesuatu yang di tampakkan .
Menurut Prof. Dr. ABD. Wahab
Khollaf kedua kelompok yang berbeda
pendapat tentang
Istihsan tidak sepakat
dalam membatasi definisinya . Seandainya mereka sepakat
atas batasan definisinya mereka tidak akan
berbeda pendapat dalam kehujjahan istihsan , karena
istihsan kenyataannya adalah berpindah dari dalil
– dalil yang jelas atau dari hukum yang
umum karena ada dalil yang
menuntut untuk itu
dan tidak melalui
membuat syariat sendiri .
Dalil ke 16
AL MASLAHAH
AL
MURSALAH
I. Pengertian :
- Menurut bahasa Al
maslahah Al Mursalah artinya Mutlak ( umum ).
- Menurut Istilah ushul Al maslahah Al Mursalah
adalah kemaslahatan yang oleh
syar'i tidak di
buatkan hokum untuk mewujudkannya
, tidak ada
dalil syara' yang menunjukkan dianggap atau tidak nya kemaslahatan itu .
Ia disebut mutlak ( umum ) karena dibatasi
oleh bukti dianggap
/ disia – siakan . Artinya bahwa penetapan
suatu hukum itu tiada
lain kecuali untuk menerapkan kemaslahatan umat manusia , yakni menarik suatu manfaat , menolak
bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia .
Kemaslahatan itu maju seiring dangan kemajuan peradaban dan berkembang sesuai
perkembangan lingkungan .
Penetapan suatu hukum kadang
– kadang menarik suatu manfaat
pada satu waktu tetapi menjadi suatu
bahaya pada waktu lain .
Pada masa satu tertentu
hukum itu dapat menarik suatu manfa'at
pada lingkungan yang satu, akan tetapi
mendatangkan bahaya pada
lingkungan lainnya .
Sedangkan kemaslahatan yang dijadikan
acuan syar'i dalam menetapkan hukum dan
menjadi illat dalam penetapannya .
Menurut istilah ahli ushul disebut kemaslahatan yang di anggap oleh
syar'i.
Contoh :
- Demi menjaga kehidupan manusia maka syara'
menetapkan kewajiban qishos sebab
pembunuhan yang di sengaja .
- Demi menjaga
harta manusia maka syara'menetapkan "hukuman " bagi laki –laki dan perempuan.
- Demi menjaga harga diri
manusia
maka syara' menetapkan : kewaiban
dera bagi orang yang menuduh zina baik laki – laki maupun perempuan
.
Semua masalah tadi (
pembunuhan di sengaja , pencurian ,
tuduhan berbuat zina dan zina adalah sifat
sesuai ) . Yakni menetapkan hukum berdasarkan
hal
– hal tersebut adalah menerapkan kemaslahatan . Dan hal – hal itu di
anggap oleh syara' , karena syar'i
menggunakannya sebagai alasan hukum .
II. Alasan Ulama'
yang menjadikannya sebagai hujjah .
Jumhur Ulama' berpendapat
bahwa
: Al Maslahah Al Mursalah
adalah hujjah syara' yang dipakai landasan penetapan hukum . Kejadian yang tidak ada hukumnya dalam
nash , ijma' , qiyas atau istihsan , maka di
tetapkan hukum yang dituntut
oleh kemaslahatan umum . Dan penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum ini tidak
tergantung pada adanya saksi
syara' dengan anggapannya .
Alasan mereka dalam
hal ini ada
2
yaitu :
1) Kemaslahatan umat manusia itu selalu
baru dan tidak ada habisnya , maka seandainya hukum tidak di tetapkan sesuai dengan
kemaslahatan manusia yang baru sesuai dengan perkembangan mereka .
Dan penetapan hukum itu hanya berdasarkan anggapan syar'I
saja , maka banyak kemaslahatan manusia di berbagai
zaman dan tempat
menjadi
tidak ada .
Jadi pembentukan hukum seperti
itu tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan
manusia . Hal ini idak
sesuai karena tujuan penetapan hukum antara
lain menerapkan kemaslahatan umat manusia .
2) Orang yang
mau meneliti penetapan hukum yang
dilakukan para sohabat , tabiin dan imam – imam mujtahid .
Akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum , bukan karena
ada saksi di
anggap oleh syar'i
.
Contoh :
Khalifah Abu bakar mengumpulkan berkas – berkas yang tercecer
menjadi satu tulisan Al
qur-an dan memerangi orang – orang yang tidak mau
membayar zakat , kemudian mengangkat shohabat Umar sebagai
gantinya . Khalifah
Umar menetapkan jatuhnya talaq 3
dengan sekali ucapan .
Khalifah Ustman menyatukan k aum muslimin dengan mushaf Al qur-an , menyebarkannya lalu membakar
selain yang di
tetapkan itu . Khalifah Ali membakar kaum syiah
Rafidhoh . Semua bentuk
kemaslahatan yang menjadi tujuan
di bentuknya undang- undang hukum
diatas adalah kemaslahatan umum karena tidak ada
dalil yang menolaknya .
III. Syarat menjadikannya sebagai hujjah ada
3 yaitu :
a) Berupa
kemaslahatan yang haqiqi ,bukan kemaslahatan yang semu .
Artinya penetapan
hukum syara' dalam kenyataannya benar –
benar menarik manfaat atau menolak bahaya .
b) Berupa kemaslahatan umum , bukan
kemaslahatan pribadi .
Artinya penetapan huku m syara' dalam kenyataannya
dapat menarik m anfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka
.
c) Penetapan hukum untuk
kemaslahatan ini tidak
boleh bertentangan dengan hokum atau dasar yang di tetapkan dengan nash
atau ijma' .
Maka tidak sah menganggap
suatu kemaslahatan yang menuntut
persamaan hak waris
antara anak laki – laki dan anak
perempuan , karena
kemaslahatan semacam ini bertentangan dengan nash Al qur-an .
Contoh kemaslahatan yang sia – sia :
Seperti fatwa Yahya bin Yahya Al Laitsi (
Ulama' fiqih Spanyol ) dan murid Imam Malik
:
" Dulu ada seorang raja dari Spanyol
berbuka dengan sengaja di siang hari bulan Romadlon" .
Dan Imam Yahya berfatw a bahwa " Tidak ada
tebusan karena merusak puasanya kecuali dia harus berpuasa dua bulan berturut
– turut " . Imam Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini karena tuuan kewajiban
membayar tebusan adalah membuat jera dan menahannya. Sehingga ia tidak kembali kepada dosa
yang seperti itu . Dan kalau ia wajib memerdekakan budak , maka hal itu sangat ringan baginya dan
tidak membuatnya jera .
Fatwa tadi di dasarkan pada kemaslahatan
, tetapi bertentangan dengan nash
karena nash yang jelas
dalam denda orang yang membatalkan
puasa dengan sengaja
di bulan Romadlon adalah memerdekakan budak , bila tidak menemukan maka haus berpuasa dua bulan berturut – turut
, bila tidak mampu maka
harus memberi makan kepada 60 orang
miskin .
Kemaslahatan dua bulan berturut
– turut tadi oleh mufti
di khususkan kepada raja , maka bukan disebut kemaslahatan umum akan tetapi
kemaslahatan sia – sia .
Kemaslahatan atau sifat sesuai ada 3
Yakni :
1. Sifat sesuai yang berpengaruh atau sesuai
yang sepadan
2. Sifat sesuai yang percuma
3. Sifat sesuai mutlaq ( Al
Maslahah Al Mursalah )
1) Sifat sesuai yang
berpengaruh atau sesuai yang sepadan
yaitu bila ada saksi yang menunjukkan
anggapan dengan macam – macam . Anggapan disebut sifat sesuai yang di anggap oleh syar'i .
2) Sifat sesuai yang percuma yaitu bila ada saksi yang
menunjukkan batalnya anggapan itu .
3) Sifat sesuai mutlaq
( Al Maslahah Al Mursalah
) yaitu jika tidak ada saksi
syara' yang menunjukkan dianggap atau tidak
dianggapnya sifat itu .
IV. Alasan Ulama'
yang tidak berhujah dengan Al Maslahah Al Mursalah .
Sebagian Ulama' berpendapat
bahwa kemaslahatan umum tidak menjadi
dasar penerapan hukum dengan 2 alasan yaitu :
1) Syari'at itu sudah
mencakup seluruh kemaslahatan manusia , baik dengan
nash – nashnya
maupun dengan apa yang di
tunjukkan oleh qiyas ,Karena syar' tidak akan membiarkan manusia dalam kesia – siaan dan tidak
membiarkan kemaslahatan yang manapun
tanpa memberikan petunuk pembentuk hokum untuk
kemaslahatan tersebut .
2) penetapan hukum berdasarkan
kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia seperti para pemimpin , penguasa , ulama'
pemberi fatwa . Sebagian
dari mereka kadang – kadang
di kalahkan oleh keinginan
nafsunya , sehingga
mereka menghayalkan kerusakan sebagai kemaslahatan . Maka penetapan hukum syari'at karena
kemaslahatan umum berarti membuka pintu kejelekan
.
Menurut Prof.
Dr. ABD. Wahab
Khollaf bahwa mengunggulkan penetapan hokum syara' itu berdasarkan kemaslahatan umum , karena jika kesempatan itu tidak di buka maka
syari'at islam akan baku dan tidak mampu mengikuti
perkembangan zaman dan lingkungan .
Obyeknya adalah kejadian atau peristiwa
yang perlu di tetapkan hukumnya , tetapi tidak ada satu pun
nash yang dapat di
jadikan dasarnya . Prinsip
yang di sepakati oleh
kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqih.
mejelasakan bahwa Mashlahah المصلحة المرسل Menurut Al Qorafi At Thusi dalam kitabnya
Mursalah itu seabagai dasar untuk
menetapkan hukum d alam bidang mu'ammalah dan semacamnya . Sedangkan dalam soal ibadah
adalah Alloh SWT. yang menetapkan
hukumnya , karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap
hikmah ibadah itu .
No comments:
Post a Comment